Lompat ke isi

Antropologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Antropologi adalah ilmu tentang manusia. Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal") atau secara etimologis antropologi berarti ilmu yang mempelajari manusia.[1] Dalam melakukan kajian terhadap manusia, antropologi mengedepankan dua konsep penting yaitu: Holistik dan Komparatif. Karena itu kajian antropologi sangat memperhatikan aspek sejarah dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan ilmu sosial,ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.

Antropologi bertujuan untuk lebih memahami dan mengapresiasi manusia sebagai entitas biologis homo sapiens dan makhluk sosial dalam kerangka kerja yang interdisipliner dan komprehensif. Oleh karena itu, antropologi menggunakan teori evolusi biologi dalam memberikan arti dan fakta sejarah dalam menjelaskan perjalanan umat manusia di bumi sejak awal kemunculannya. Antropologi juga menggunakan kajian lintas-budaya dalam menekankan dan menjelaskan perbedaan antara kelompok-kelompok manusia dalam perspektif material budaya, perilaku sosial, bahasa, dan pandangan hidup.[2]

Dengan orientasinya yang holistik, antropologi dibagi menjadi empat cabang ilmu yang saling berkaitan, yaitu: Antropologi Biologi, Antropologi Sosial Budaya, Arkeologi, dan Linguistik. Keempat cabang tersebut memiliki kajian-kajian konsentrasi tersendiri dalam kekhususan akademik dan penelitian ilmiah, dengan topik yang unik dan metode penelitian yang berbeda-beda.[3]

Antropologi lahir atau berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa pada ciri-ciri fisik, adat istiadat, dan budaya etnis-etnis lain yang berbeda dari masyarakat yang dikenal di Eropa. Pada saat itu kajian antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di suatu kawasan geografis yang sama, memiliki ciri fisik dan bahasa yang digunakan serupa, serta cara hidup yang sama. Namun demikian dalam perkembangannya, ilmu antropologi kemudian tidak lagi hanya mempelajari kelompok manusia tunggal yang mendiami suatu wilayah geografis yang sama. Kajian-kajian antropologi mengenai isu-isu migrasi misalnya kemudian melahirkan penelitian-penelitian etnografis multi-situs. Hal ini terjadi karena dalam perkembangannya, pergerakan manusia baik dalam satu kawasan regional tertentu hingga dalam cakupan global adalah fenomena yang semakin umum terjadi.

Pengertian Antropologi menurut para ahli

[sunting | sunting sumber]
Conrad Phillip Kottak
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari keragaman manusia secara holistik meliputi aspek sosial budaya, biologis, kebahasaan dan lingkungannya dalam dimensi waktu lampau, saat ini, dan di masa yang akan datang. Kottak membagi antropologi dalam empat subdisiplin, yaitu: antropologi sosial budaya, arkeologi, antropologi biologi dan linguistik antropologi.
David E. Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

Percabangan Antropologi

[sunting | sunting sumber]

Antropologi merupakan disiplin ilmu yang luas di mana humaniora, sosial, dan ilmu pengetahuan alam digabung dalam menjelaskan apa itu manusia dan artinya menjadi manusia. Antropologi dibangun berdasarkan pengetahuan dari ilmu alam, termasuk penemuan tentang asal usul dan evolusi Homo sapiens, ciri-ciri fisik manusia, perilaku manusia, variasi di antara berbagai kelompok manusia, bagaimana masa lalu evolusi Homo sapiens telah memengaruhi organisasi dan budaya sosial. Serta dari ilmu-ilmu sosial, antropologi memelajari organisasi hubungan manusia sosial dan budaya, sistem keturunan dan hubungan kekerabatan, spiritualitas dan religi, lembaga, konflik sosial, dan lain-lain. Antropologi awal berasal dari Yunani klasik dan Persia yang memelajari dan mencoba untuk memahami keragaman budaya yang dapat diamati. Pada saat ini, antropologi (akhir abad ke-20) telah menjadi sentral dalam pengembangan beberapa bidang interdisipliner baru seperti ilmu kognitif, studi globalisasi, genetik, dan berbagai penelitian etnis.

Secara garis besar antropologi terdiri dari:

Antropologi Biologi/Fisik

[sunting | sunting sumber]

Antropologi Biologi atau juga disebut Antropologi Fisik merupakan cabang ilmu antropologi yang memelajari manusia dan primata bukan manusia (non-human primates) dalam arti biologis, evolusi, dan demografi. Antropologi Biologi/Fisik memfokuskan pada faktor biologis dan sosial yang memengaruhi (atau yang menentukan) evolusi manusia dan primata lainnya, yang menghasilkan, mempertahankan, atau mengubah variasi genetik dan fisiologisnya pada saat ini.[4]

Antropologi Biologi dibagi lagi menjadi beberapa cabang ilmu, diantaranya yaitu:

  • Paleoantropologi adalah ilmu yang memelajari asal usul manusia dan evolusi manusia melalui bukti fosil-fosil.
  • Somatologi adalah ilmu yang memelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
  • Bioarkeologi adalah ilmu tentang kebudayaan manusia yang lampau dengan melalui analisis sisa-sisa (tulang) manusia yang biasa ditemukan dalam situs-situs arkeologi.
  • Ekologi Manusia adalah studi tentang perilaku adaptasi manusia pada lingkungannya (mengumpulkan makanan, reproduksi, ontogeni) dengan perspektif ekologis dan evolusi. Studi ekologi manusia juga disebut dengan studi adaptasi manusia, atau studi tentang respon adaptif manusia (perkembangan fisik, fisiologi, dan genetik) pada tekanan lingkungan dan variasinya.
  • Paleopatologi adalah studi penyakit pada masa purba (kuno). Studi ini tidak hanya berfokus pada kondisi patogen yang diamati pada tulang atau sisa-sisa jaringan (misalnya pada mumi), tetapi juga pada gangguan gizi, variasi morfologi tulang, atau juga bukti-bukti stres pada fisik.
  • Antropometri adalah ilmu yang memelajari dan mengukur variasi fisik manusia. Antropometri pada awalnya digunakan sebagai alat analisis untuk mengidentifikasi sisa-sisa fosil kerangka manusia purba atau hominid dalam rangka memahami variasi fisik manusia. Pada saat ini, antropometri berperan penting dalam desain industri, desain pakaian, desain industrial ergonomis, dan arsitektur di mana data statistik tentang distribusi dimensi tubuh dalam populasi digunakan untuk mengoptimalkan produk yang akan digunakan konsumen.
  • Osteologi/osteometri adalah ilmu tentang tulang yang memelajari struktur tulang, elemen-elemen pada kerangka, gigi, morfologi mikrotulang, fungsi, penyakit, patologi, dsb. Osteologi digunakan dalam menganalisis dan mengidentifikasi sisa-sisa tulang (baik kerangka utuh mau pun yang telah menjadi serpihan) untuk menentukan jenis kelamin, umur, pertumbuhan dan perkembangannya, sebab kematian, dan lain sebagainya dalam konteks biokultural.
  • Primatologi adalah ilmu tentang primata bukan manusia (non-human primates). Primatologi mengkaji perilaku, morfologi, dan genetik primata yang berpusat pada homologi dan analogi dalam mengambil kesimpulan kenapa dan bagaimana ciri-ciri manusia berkembang dalam primata.
  • Antropologi Forensik adalah ilmu terapan antropologi dalam ruang legal (hukum), biasanya menggunakan perspektif dan keahlian ekologi manusia, paleopatologi, dan osteologi dalam kasus-kasus kriminal luar biasa (FBI, CIA, dan militer) untuk menganalisis kondisi korban yang sudah tidak utuh (terbakar, rusak, terpotong-terpotong karena mutilasi, atau sudah tidak dikenali lagi) atau dalam tahap dekomposisi lanjut (sudah menjadi kerangka tulang).
  • Antropologi Molekuler adalah bidang ilmu yang memelajari evolusi, migrasi, dan persebaran manusia di bumi melalui analisis molekuler. Biasanya menggunakan perbandingan sekuens DNA (mtDNA, Kromosom Y, dan Autosom) dan protein dalam melihat variasi populasi dan hubungan antar atau inter-populasi dalam menentukan suatu populasi masuk ke dalam haplogrup tertentu atau berasal dari wilayah mana (geographical origin).

Antropologi Sosial Budaya

[sunting | sunting sumber]

Antropologi sosial merupakan studi yang mempelajari hubungan antara orang-orang dan kelompok. Sementara Antropologi Budaya merupakan studi komparasi bagaimana orang-orang memahami dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda-beda. Antropologi Sosial berkaitan erat dengan sosiologi dan sejarah yang bertujuan mencari pemahaman struktur sosial dari suatu kelompok sosial yang berbeda seperti subkultur, etnik, dan kelompok minoritas. Antropologi Budaya lebih berhubungan dengan filsafat, literatur atau sastra, dan seni tentang bagaimana suatu kebudayaan memengaruhi pengalaman seseorang (diri sendiri) dan kelompok, memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih lengkap terhadap pengetahuan, adat istiadat, dan pranata masyarakat. Dalam praktiknya tidak ada perbedaan yang sangat mencolok antara Antropologi Sosial dan Antropologi Budaya, dan bahkan sering saling tumpang tindih di antara keduanya.

  • Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.[5]
  • Etnolinguistik antropologi adalah ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di bumi.[5]
  • Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.[5]
  • Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

Antropologi Psikologis

[sunting | sunting sumber]

Filsafat antropologi dahulu dikenal sebagai filsafat psikologis yang dapat diartikan sebagai sebuah disiplin filsafat yang berkembang pada sekitar abad ke-18 dengan tujuan untuk membuktikan gagasan atau pemikiran tentang kapasitas konseptual pikiran, kehendak bebas, dan jiwa spiritual. Filsafat ini adalah perkembangan dari psikologi rasional yang dipelopori oleh Christian von Wolff. Psikologi rasional merupakan ilmu yang mempelajari tentang teori-teori metafisika atas pikiran dan jiwa serta dapat mampu menjelaskan terkait psikologi empris yang terbatas hanya pada jiwa yang dapat diamati atau observasi saja. Adapun beberapa ilmu alam yang memengaruhi kajian psikologis tentang jiwa tetapi menjauhkannya dari pertanyaan yang berkaitan dengan teori-teori metafisika.[6]

Banyak kritik yang muncul terhadap filsafat psikologi salah satunya datang dari Kant yang berpendapat bahwa kesadaran dari individu yang berpikir bukanlah sebagai kondisi realitas yang terjadi. Individu tidak dapat mencapai identitas dirinya hanya dengan melakukan proses berpikir saja tetapi harus menggali dari diri sendiri lewat introspeksi sebagaimana dari teori-teori filsafat psikologi, kita juga harus mengamati sisi-sisi kemanusiaan, termasuk sejarah, karya-karya literatur, dan budaya bangsa lain. Kritik dan saran dari Kant inilah yang mengawali perubahan pendekatan dari filsafat psikologi atas jiwa menjadi filsafat antropologi psikologis yang cakupannya menjadi lebih luas.[7] Metode yang digunakan dalam studi antropologi psikologis adalah menggunakan konsepsi psikologi bahwa watak atau karakter individu dibentuk dari pola ash yang didapatkan dari orang tua, keluarga, dan lingkungannya sewaktu masih kecil.[8]

Studi antropologi psikologis terkait fenomena psikologis dengan menggunakan istilah karakter tidak terlalu diminati oleh para peneliti, sementara yang paling sering muncul dalam penelitian adalah istilah kepribadian, atau dalam konsep generik disebut dengan culture and personality. Kedua istilah tersebut masih mengarah kepada kondisi psikologis manusia dimana karakter dapat disamakan dengan istilah kepribadian dan dapat dikatakan bahwa karakter tergambar dari kepribadian individu. Dalam memahami fenomena karakter dalam suatu masyarakat individu harus melihat dari sudut pandang antropologi psikologis. Proses membentuk dan mengembangkan karakter suatu masyarakat berfokus pada perkembangan dan kondisi psikologis dari manusia yang hidup dalam masyarakat tersebut serta pengalaman individu dan lingkungan sosial menjadi sebuah rangkaian proses yang berkontribusi kepada pembentukan karakter itu sendiri.[9] Kajian antropologi psikologis menjadi penghubung antara studi tentang kebudayaan dan kepribadian dalam menjelaskan suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa.[10]

Kajian tentang karakter dalam masyarakat pada studi-studi antropologi dimasukkan ke dalam kajian antropologi psikologi dengan memfokuskan kepada konsep utama, yakni kepribadian. Terbentuknya karakter masyarakat berada dalam konteks kebudayaan suatu masyarakat dapat membetuk pula kepribadian tetapi sangat bergantung kepada proses pembelajaran dalam perilaku individu (learned behaviors) yang mendukung kebudayaan tersebut.[11] Faktor yang memengaruhi pandangan antropologi dari sudut pandang antropologi psikologis adalah individu dapat memilih kebudayaan sendiri saat dimensi psikologisnya sesuai dengan kebudayaan tersebut.[12]

Mengenai pendekatan sistem dalam antropologi psikologis, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial yang bersumber dari sistem sosial. Individu dapat menjadi atau berperilaku buruk/jelek apabila masuk ke dalam lingkungan masyarakat yang buruk pula. Pada umumnya masyarakat yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi lemah, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Penyimpangan tingkah laku atau pelanggaran terhadap norma-norma yang ada disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor pribadi, faktor keluarga yang merupakan lingkungan utama, maupun faktor lingkungan sekitar yang secara potensial dapat membentuk perilaku individu.[13]

Dalam kasus krisis identitas yang dialami individu tidak hanya berdampak psikologis, tetapi juga berpengaruh dalam perilaku sosial mereka. Akibatnya, muncul hambatan-hambatan dalam melakukan hubungan sosial sehingga umumnya dalam melakukan hubungan sosial secara lebih luas, individu akan sulit membuat dirinya membaur ke dalam struktur sosial yang ada dalam masyarakat.[14]

Pada model pendekatan psikosomatik dalam aliran psikologi, penyakit akan berkembang mengikuti hubungan antara fisik dan mental yang saling memperkuat satu sama lain melalui sistem timbal balik. Psikosomatis ditunjukkan oleh hubungan jiwa dan badan, sehingga proses psikologis sangat berperan penting. Aspek-aspek psikologis seperti kepercayaan dan pola pikir yang tidak sehat akan berpengaruh pada munculnya berbagai penyakit fisik. Pendekatan tersebut sering disebut sebagai pendekatan biopsikososial, yaitu suatu konsep yang menjelaskan bahwa terdapat interaksi antara kondisi biologis, psikologis, dan sosial untuk memahami penyakit dan proses sakit yang dialami oleh individu. Kondisi sakit tidak disebabkan oleh faktor biologis saja, melainkan juga faktor psikologis dan lingkungan sosial yang ada disekitar individu seperti keluarga dan kelompok masyarakat.[15]

Dalam ilmu antropologi terdapat salah satu fokus kajian tentang perilaku komunikasi khususnya etnografi komunikasi yang diartikan sebagai perilaku yang terbentuk dari tiga integrasi keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu sebagai makhluk sosial yaitu keterampilan linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan budaya. Perilaku komunikasi menuntut adanya suatu bentuk penguasaan dari beberapa keterampilan dan kompetensi, baik dalam bentuk keterampilan linguistik atau bahasa, keterampilan berinteraksi, dan keterampilan budaya dalam berperilaku dari individu. Perilaku komunikasi dipahami sebagai bentuk integrasi dari dua kata, yaitu perilaku (behavior) dan komunikasi. Perilaku atau yang disebut dengan istilah aktivitas diartikan sebagai bagian dari konsep stimulus dan respons dalam teori psikologi. Kata perilaku juga dapat diartikan sebagai sebuah perbuatan yang dapat dibagi menjadi dua macam seperti perbuatan terbuka (overt) dan tertutup (covert). Perilaku yang terbuka adalah perilaku yang dapat diamati secara langsung melalui pancaindera. Perilaku tertutup adalah perilaku yang tidak dapat diamati secara langsung. Berdasar pada pemahaman dalam ruang lingkup kajian psikologi, perilaku komunikasi merupakan bagian dari perilaku sosial. Perilaku komunikasi pada individu dipahami sebagai fungsi interaksi atas masukan dari situasi sosial dan karakteristik individual. Situasi sosial yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dapat memengaruhi perilaku individu yang bersifat eksternal dan lebih diartikan sebagai faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu atau disebut dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan dalam klasifikasinya dapat dibagi menjadi dua bagian, lingkugan fisik dan lingkungan sosial.[16]

Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraningrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

[sunting | sunting sumber]
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar, sehingga timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi tersebut. Oleh sebab itu juga, pada fase pertama ini ilmu antropologi sangat identik dengan ilmu etnografi.[17]

Fase Kedua (tahun 1800-an)

[sunting | sunting sumber]

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis dan mulai berkembang sebagai studi kontemporer mengenai ras manusia, anatomi manusia, sejarah pemukiman manusia, klasifikasi bahasa serta perbandingan antara masyarakat primitif dan kuno. mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.[18]

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

[sunting | sunting sumber]

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.[19]

Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)

[sunting | sunting sumber]

Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

Di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Sebelum Perang Dunia II, studi antropologi di Indonesia banyak dilakukan oleh para cendekiawan Belanda di universitas-universitas atau institusi lain. Beberapa karya yang dihasilkan adalah penelitian hukum adat oleh C. van Vollenhoven[20] dan J. Prins serta pengembangan materi antropologi Indonesia oleh R. Kennedy, G.J. Held, A.G. Gerbrands, P.E. de Josselin de Jong, dan Koentjaraningrat.[21][22]

Setelah kemerdekaan Indonesia, para antropolog Belanda tidak lagi melanjutkan studinya di Indonesia. Posisi mereka banyak digantikan oleh antropolog dari Amerika Serikat. Hal ini umum mengingat tingginya ketertarikan cendekiawan mereka pada Asia Tenggara pascaperang. Terdapat setidaknya tiga institusi penting di Amerika Serikat yang menjadi pusat penelitian antropologi Indonesia, yaitu Universitas Cornell, Institut Teknologi Massachusetts, dan Universitas Yale.[23][24]

Universitas Indonesia pertama kali membuka antropologi sebagai mata kuliah tambahan di Fakultas Hukum dan di Fakultas Sastra pada awal 1950-an. Semua pengajarnya berkebangsaan Belanda. Pada saat itu, terdapat dua pandangan di antara para akademisi. Yang pertama lebih menyukai sosiologi sementara yang lain lebih menyukai antropologi. Akademisi yang lebih menyukai sosiologi berpendapat bahwa antropologi tidak sesuai untuk negara berkembang dan didasarkan pada kepentingan kolonial. Yang menyukai antropologi menganggap antropologi penting dalam mengamati keragaman kelompok etnik di Indonesia. Pada tahun 1956, dua orang Indonesia yang menimba ilmu antropologi di Belanda dan Amerika Serikat merencanakan pendirian program studi Antropologi di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mulai tahun ajaran 1983-84, Prodi Antropologi dipindahkan ke Fakultas Ilmu Sosial.[25]

Pada tahun 1962, berdiri Prodi Antropologi di Universitas Gadjah Mada dan di Universitas Cenderawasih. Menyusul pendirian prodi baru pada tahun 1964 di Universitas Sam Ratulangie dan tahun 1969 di Universitas Udayana.[26]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]

Kamus dan ensiklopedia

[sunting | sunting sumber]
  • Barnard, Alan; Spencer, Jonathan, ed. (2010). The Routledge Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. London: Routledge. 
  • Barfield, Thomas (1997). The dictionary of anthropology. Hoboken: Wiley-Blackwell Publishing. 
  • Jackson, John L. (2013). Oxford Bibliographies: Anthropology. Oxford: Oxford University Press. 
  • Levinson, David; Ember, Melvin, ed. (1996). Encyclopedia of Cultural Anthropology. Volumes 1–4. New York: Henry Holt. 
  • Rapport, Nigel; Overing, Joanna (2007). Social and Cultural Anthropology: The Key Concepts. New York: Routledge. 

Catatan lapangan dan memoar

[sunting | sunting sumber]


Buku teks dan karya teoretis utama

[sunting | sunting sumber]
  • Teori kelulusan Carneiro
  • Clifford, James; Marcus, George E. (1986). Writing culture: the poetics and politics of ethnography. Berkeley: University of California Press. 
  • Geertz, Clifford (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. 
  • Harris, Marvin (1997). Culture, People, Nature: An Introduction to General Anthropology (edisi ke-7th). Boston: Allyn & Bacon. 
  • Salzmann, Zdeněk (1993). Language, culture, and society: an introduction to linguistic anthropology. Boulder, CO: Westview Press. 
  • Foucault, Michel (2008). Introduction to Kant’s Anthropology. Los Angeles: Semiotext(e). 
  • Shweder, Richard A.; LeVine, Robert A., ed. (1984). Culture Theory: essays on mind, self, and emotion. Cambridge, UK: Cambridge University Press. 
  • Wiranata, I Gede A. B. (2011). Antropologi Budaya. Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti. hlm. 8. ISBN 9789794911174. 
  • Waitz, Theodor (1863). Introduction to Anthropology. Translated by J. Frederick Collingwood for the Anthropological Society of London. London: Longman, Green, Longman, and Roberts. 

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Putri, Arum Sutrisni (2019-12-15). Putri, Arum Sutrisni, ed. "Antropologi: Definisi, Obyek, Fungsi, Tujuan, dan Manfaatnya". Kompas.com. 
  2. ^ Birx, James. H. 2011. 21st Century Anthropology: A Reference Handbook. Ed: James. H. Birx. London: Sagepub.
  3. ^ Fatiani Lase (2019). "Peranan Antropologi Dalam Kajian Ilmu Administrasi Negara" (PDF). Jurnal Warta: 5. ISSN 1829-7463. 
  4. ^ Wawan Ruswanto. Ruang Lingkup Antropologi (PDF). hlm. 27. 
  5. ^ a b c Indriyati Soerjasih, Oesman Effendi, Sri Endah Kinasih. Modul Pengembangan Keprofesian Lanjutan, Antropolgi SMA Terintegrasi Penguatan Pendidikan Karakter (PDF). hlm. 33. 
  6. ^ Ja'far 2010, hlm. 196.
  7. ^ Ja'far 2010, hlm. 197.
  8. ^ Baiduri 2020, hlm. 57.
  9. ^ Effendi 2016, hlm. 178.
  10. ^ Wiranata 2011, hlm. 18.
  11. ^ Effendi 2016, hlm. 182.
  12. ^ Syam 2007, hlm. 54.
  13. ^ Leni 2017, hlm. 24.
  14. ^ Suharyanto 2015, hlm. 98-99.
  15. ^ Fitriani dan Rois 2014, hlm. 39.
  16. ^ Sriyanto dan Fauzie 2017, hlm. 91-92.
  17. ^ Wiranata 2011, hlm. 8.
  18. ^ "Cultural anthropology - Historical development of cultural anthropology". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-14. 
  19. ^ Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari (2019). Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Aura Publisher. hlm. 17-18. ISBN 978-623-211-107-3. 
  20. ^ Vollenhoven, C. van (Cornelis) (1981). Orientasi dalam hukum adat Indonesia. Jakarta: KITLV; Djambatan,. hlm. viii, 7. OCLC 843749925. 
  21. ^ Koentjaraningrat (1975). Anthropology in Indonesia : a bibliographical review (dalam bahasa Inggris). Leiden: Nijhoff. hlm. 217. ISBN 90-247-1827-9. OCLC 2932080. 
  22. ^ Koentjaraningrat (1987), hlm. 218.
  23. ^ Dohrenwend, Barbara Snell (1957-02). "Courses related to Southeast Asia in American colleges and universities, 1955-1956". Southeast Asia Program Data Papers Series (dalam bahasa Inggris) (24): ii. 
  24. ^ Koentjaraningrat (1987), hlm. 219.
  25. ^ Koentjaraningrat (1987), hlm. 222-223.
  26. ^ Koentjaraningrat (1987), hlm. 223-224.

Daftar Pustaka

[sunting | sunting sumber]

Effendi, N. (2016). "Pemahaman dan pembentukan karakter masyarakat: Realitas dan pandangan antropologi". Tingkap. 11 (2): 175–185. ISSN 1410-7481. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-06-03. Diakses tanggal 2020-09-25. 

Fitriani, A., &, Rois, A. M. (2014). "Studi kasus kecenderungan psikosomatis dan kaitannya dengan sistem budaya". Proyeksi: Jurnal Psikologi. 9 (2): 38–48. ISSN 1907-8455. 

Ja'far, S. (2010). "Citra manusia dari filsafat psikologi ke filsafat antropologi". Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi. 3 (2): 196–204. doi:10.15575/psy.v3i2.2188. 

Leni, N. (2017). "Kenakalan remaja dalam perspektif antropologi". Konseli: Jurnal Bimbingan dan Konseling (E-Journal). 4 (1): 23–34. ISSN 2355-8539. 

Sriyanto, S., &, Fauzie, A. (2017). "Penggunaan kata "jancuk" sebagai ekspresi budaya dalam perilaku komunikasi arek di kampung Kota Surabaya". Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. 7 (2): 88–102. doi:10.26740/jptt.v7n2.p88-102. 

Suharyanto, A. (2015). "Waria dalam kajian antropologi tubuh". Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology). 1 (1): 94–101. doi:10.24114/antro.v1i1.6240. 

Baiduri, R. (2020). Teori-teori antropologi (Kebudayaan). Yayasan Kita Menulis. hlm. 1–298. ISBN 978-623-7645-22-1. 

Wiranata, I G. A. B. (2011). Antropologi budaya. PT Citra Aditya Bakti. hlm. 1–182. ISBN 978-979-414-873-0. 

Syam, N. (2007). Madzhab-madzhab antropologi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. hlm. 1–230. ISBN 979-97853-5-9. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]